PPh Pasal 22 Impor
Impor barang adalah salah satu kegiatan yang dijadikan objek
pengenaan atau pemungutan PPh Pasal 22, sesuai dengan ketentuan Pasal 22
UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 154/PMK.03/2010.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan impor adalah setiap kegiatan
memasukkan barang dari luar negeri ke dalam negeri, baik yang dilakukan
secara legal atau tidak. Khusus untuk impor illegal, kalau tertangkap
pihak berwajib, pengenaan PPh Pasal 22-nya dilakukan secara khusus.
Subjek Pemungut dan yang Dipungut
Subjek yang dikenakan PPh Pasal 22 dalam hal ini adalah importir yang
melakukan impor barang tersebut. Dengan kata lain, importir yang
mengimpor barang tersebut wajib membayar atau melunasi PPh Pasal 22
impor. Sedangkan subjek pemungutnya adalah bank devisa dan juga DJBC.
Pengertian subjek pemungut dalam hal ini adalah hanya sebatas collector SSP atau penerima pembayaran. Sebab PPh Pasal 22 impor ini umumnya disetor sendiri oleh importir melalui bank devisa.
Tarif PPh Pasal 22 Impor
Untuk impor yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif PPh
Pasal 22 yang dikenakan adalah 2,5%. Tetapi khusus untuk impor kedelai,
gandum dan tepung terigu, dikenakan tarif 0,5%. Sedangkan untuk impor
yang tidak menggunakan API dan impor yang tidak dikuasai dikenakan PPh
Pasal 22 dengan tarif lebih tinggi, yaitu 7,5%.
Nilai yang dijadikan sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPh
Pasal 22 Impor adalah Nilai Impor, yaitu nilai berupa uang yang menjadi
dasar penghitungan Bea Masuk yakni Cost-Insurance-Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan kepabeanan.
Misalnya dalam suatu kegiatan impor diketahui harga jual (cost) barang impor tersebut dari produsen di luar negeri Rp 10.000.000,- sedangkan insurance dan freight
(ongkos angkut yang diminta produsen) masing-masing Rp 5.000.000,- dan
Rp 7.000.000,-. Bea Masuk yang dikenakan terhadap barang yang diimpor
tersebut 25% dan pungutan lainnya sebesar Rp 1.000.000,-. Dari
keterangan ini, maka dapat dihitung DPP PPh Pasal 22 sebagai berikut:
PPh Pasal 22 Impor yang harus dilunasi atau dibayar oleh importir
adalah sebesar tarif PPh Pasal 22 impor dikalikan dengan DPP PPh Pasal
22 Impor tersebut. Dari gambar di atas, berarti besarnya PPh Pasal 22
Impor (asumsi impor menggunakan API) adalah = 2,5% x Rp 28.500.000,- =
Rp 712.500,-.
Jika ada kegiatan impor yang dilakukan secara illegal dan kemudian
tertangkap oleh pihak berwajib, maka barang impor tersebut akan disita
oleh negara. Selanjutnya barang sitaan impor tersebut akan dilelang dan
akan dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif 7,5% dari harga jual lelang.
Dalam hal ini, barang sitaan impor itu disebut dengan “impor yang tidak dikuasai”.
Pihak yang dikenakan PPh Pasal 22 adalah pemenang lelang sehingga
pemenang lelang harus membayar sebesar harga jual lelang ditambah PPh
Pasal 22 sebesar 7,5% dari harga jual lelang tersebut.
Tata Cara Pelunasan
PPh Pasal 22 impor harus dilunasi bersamaan dengan pembayaran Bea
Masuk. Apabila importir mendapat pembebasan pembayaran Bea Masuk, maka
PPh Pasal 22 impor dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan
Impor Barang (PIB).
Dalam pelaksanaannya, PPh Pasal 22 impor wajib disetor sendiri oleh
importir melalui bank persepsi maupun Kantor Pos dan Giro yang dapat
menerima penyetoran PPh Pasal 22 impor. Penyetoran menggunakan Surat
Setoran Pabean-Cukai Dan Pajak Dalam Rangka Impor (SSPCP).
Bagi importir atau pihak yang dikenakan, PPh Pasal 22 impor yang
sudah dibayar tersebut pada dasarnya merupakan uang muka (kredit PPh)
dan dapat dikreditkan di SPT Tahunan PPh. Namun jika barang yang
diimpor tersebut terkait dengan penghasilan yang dikenakan PPh Final,
maka PPh Pasal 22 Impor tadi tidak dapat dikreditkan di SPT Tahunan PPh.
Pengecualian PPh Pasal 22 Impor
Tidak semua impor dikenakan PPh Pasal 22 sebab seperti ditegaskan
dalam Pasal 3 PMK Nomor 154/PMK.03/2010 ada beberapa jenis barang yang
atas impornya dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 22 Impor (tidak
dikenakan PPh Pasal 22 impor).
Dalam artikel ini, saya tidak akan menyebutkan satu per satu jenis
barang tersebut karena terlalu banyak rinciannya. Namun yang perlu saya
sampaikan adalah bahwa untuk tidak dikenakan PPh Pasal 22 impor, ada
yang memerlukan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari Kepala KPP tempat
importir atau pihak yang akan melakukan impor terdaftar NPWP, atau dari
kantor DJBC setempat. Tanpa ada SKB sebagai syarat pembebasan, PPh Pasal
22 Impor tetap dapat dikenakan.
Satu-satunya impor yang dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 22 dan
tidak memerlukan SKB adalah impor kembali (re-impor), yaitu
barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam
kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan oleh DJBC.