Cari Blog Ini

Jumat, 05 Oktober 2012

Impor dengan Letter of Credit (LC)

Letter of credit


Pelaku L/C

  • Applicant atau pemohon kredit adalah importir (pembeli) yang mengajukan aplikasi L/C.
  • Beneficiary adalah eksportir (penjual) yang menerima L/C.
  • Issuing bank atau opening adalah bank pembuka L/C.
  • Advising bank adalah bank yang meneruskan L/C, yaitu bank koresponden (agen) yang meneruskan L/C kepada beneficiary. Bank tidak bertanggung jawab atas isi L/C dan hanya bertindak sebagai perantara.
  • Confirming bank adalah bank yang melakukan konfirmasi atas permintaan issuing bank dan menjamin sepenuhnya pembayaran.
  • Paying bank adalah bank yang secara khusus ditunjuk dalam L/C untuk melakukan pembayaran dan beneficiary berkewajib
  • Carrier adalah pengangkut barang yang dikirim (Perusahaan Pelayaran/Penerbangan) untuk dibeberapa negara dengan perbatasan darat bisa juga perusahaan angkutan darat seperti truk, kereta Dll).

Tata cara pembayaran dengan L/C

  1. Importir meminta kepada banknya (bank devisa) untuk membuka suatu L/C untuk dan atas nama eksportir. Dalam hal ini, importir bertindak sebagai opener. Bila importir sudah memenuhi ketentuan yang berlaku untuk impor seperti keharusan adanya surat izin impor, maka bank melakukan kontrak valuta (KV) dengan importir dan melaksanakan pembukaan L/C atas nama importir. Bank dalam hal ini bertindak sebagai opening/issuing bank. Pembukaan L/C ini dilakukan melalui salah satu koresponden bank di luar negeri. Koresponden bank yang bertindak sebagai perantara kedua ini disebut sebagai advising bank atau notifiying bank. Advising bank memberitahukan kepada eksportir mengenai pembukaan L/C tersebut. Eksportir yang menerima L/C disebut beneficiary.
  2. Eksportir menyerahkan barang ke Carrier, sebagai gantinya Eksportir akan mendapatkan bill of lading.
  3. Eksportir menyerahkan bill of lading kepada bank untuk mendapatkan pembayaran. Paying bank kemudian menyerahkan sejumlah uang setelah mereka mendapatkan bill of lading tersebut dari eksportir. Bill of lading tersebut kemudian diberikan kepada Importir.
  4. Importir menyerahkan bill of lading kepada Carrier untuk ditukarkan dengan barang yang dikirimkan oleh eksportir.

Jenis-jenis L/C

  • Revocable L/C
Adalah L/C yang sewaktu-waktu dapat dibatalkan atau diubah secara sepihak oleh opener atau oleh issuing bank tanpa memerlukan persetujuan dari beneficiary.
  • Irrevocable L/C
Irrevocable L/C adalah L/C yang tidak bisa dibatalkan selama jangka berlaku (validity) yang ditentukan dalam L/C tersebut dan opening bank tetap menjamin untuk menerima wesel-wesel yang ditarik atas L/C tersebut. Pembatalan mungkin juga dilakukan, tetapi harus atas persetujuan semua pihak yang bersangkutan dengan L/C tersebut.
  • Irrevocable dan Confirmed L/C
L/C ini diangggap paling sempurna dan paling aman dari sudut penerima L/C (beneficiary) karena pembayaran atau pelunasan wesel yang ditarik atas L/C ini dijamin sepenuhnya oleh opening bank maupun oleh advising bank, bila segala syarat-syarat dipenuhi, serta tidak mudah dibatalkan karena sifatnya yang irrevocable.
  • Clean Letter of Credit
Dalam L/C ini tidak dicantumkan syarat-syarat lain untuk penarikan suatu wesel. Artinya, tidak diperlukan dokumen-dokumen lainnya, bahkan pengambilan uang dari kredit yang tersedia dapat dilakukan dengan penyerahan kuitansi biasa.
  • Documentary Letter of Credit
Penarikan uang atau kredit yang tersedia harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen lain sebagaimana disebut dalam syarat-syarat dari L/C.
  • Documentary L/C dengan Red Clause
Jenis L/C ini, penerima L/C (beneficiary) diberi hak untuk menarik sebagian dari jumlah L/C yang tersedia dengan penyerahan kuitansi biasa atau dengan penarikan wesel tanpa memerlukan dokumen lainnya, sedangkan sisanya dilaksanakan seperti dalam hal documentary L/C. L/C ini merupakan kombinasi open L/C dengan documentary L/C.
  • Revolving L/C
L/C ini memungkinkan kredit yang tersedia dipakai ulang tanpa mengadakan perubahan syarat khusus pada L/C tersebut. Misalnya, untuk jangka waktu enam bulan, kredit tersedia setiap bulannya US$ 1.200, berarti secara otomatis setiap bulan (selama enam bulan) kredit tersedia sebesar US$ 1.200, tidak peduli apakah jumlah itu dipakai atau tidak.
  • Back to Back L/C
Dalam L/C ini, penerima (beneficiary) biasanya bukan pemilik barang, tetapi hanya perantara. Oleh karena itu, penerima L/C ini terpaksa meminta bantuan banknya untuk membuka L/C untuk pemilik barang-barang yang sebenarnya dengan menjaminkan L/C yang diterimanya dari luar negeri.
  • Transferable L/C
Beneficiary berhak memnita kepada bank yang diamanatkan untuk melakukan pembayaran/akseptasi kepada setiap bank yang berhak melakukan negosiasi, untuk menyerahkan hak atas kredit sepenuhnya/sebagian kepada pihak ketiga.
  • Stand by Letter of Credit
Suatu jaminan khusus yang biasa nya dipakai sebagai "stand by" oleh pihak beneficiary atau bank atas nama nasabah nya. Dalam hal ini apabila pihak applicant gagal untuk melaksanakan suatu kontrak/gagal untuk membayar pinjaman/memenuhi pinjamannya, maka Bank yang bersangkutan akan membayar kepada pihak beneficiary atas penyerahan selembar sight draft & surat pernyataan dari pihak beneficiary yang menyatakan bahwa applicant atau kontraktor tidak dapat melaksanakan kontrak yang di setujui, membayar pinjaman/memenuhi kewajibannya.

UCP 600

UCP 600 (“Uniform Customs & Practice for Documentary Credits”) adalah versi terakhir untuk pedoman umum internasional (best practice) transaksi LC yang diterbitkan oleh #ALIHICC (International Chamber of Commerce). UCP 600 berlaku efektif sejak 1 Juli 2007 menggantikan pedoman sebelumnya (UCP 500). Sejak tanggal tersebut diharapkan semua bank yang menerbitkan LC baru mengacu pada UCP 600.

PPH Pasal 22 Impor

PPh Pasal 22 Impor


Impor barang adalah salah satu kegiatan yang dijadikan objek pengenaan atau pemungutan PPh Pasal 22, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 154/PMK.03/2010.  Dalam hal ini yang dimaksud dengan impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar negeri ke dalam negeri, baik yang dilakukan secara legal atau tidak.  Khusus untuk impor illegal, kalau tertangkap pihak berwajib, pengenaan PPh Pasal 22-nya dilakukan secara khusus.

Subjek Pemungut dan yang Dipungut
Subjek yang dikenakan PPh Pasal 22 dalam hal ini adalah importir yang melakukan impor barang tersebut. Dengan kata lain, importir yang mengimpor barang tersebut wajib membayar atau melunasi PPh Pasal 22 impor.  Sedangkan subjek pemungutnya adalah bank devisa dan juga DJBC.
Pengertian subjek pemungut dalam hal ini adalah hanya sebatas collector SSP atau penerima pembayaran.  Sebab PPh Pasal 22 impor ini umumnya disetor sendiri oleh importir melalui bank devisa.

Tarif PPh Pasal 22 Impor
Untuk impor yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan adalah 2,5%.  Tetapi khusus untuk impor kedelai, gandum dan tepung terigu, dikenakan tarif 0,5%. Sedangkan untuk impor yang tidak menggunakan API dan impor yang tidak dikuasai dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif lebih tinggi, yaitu 7,5%.
Nilai yang dijadikan sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPh Pasal 22 Impor adalah Nilai Impor, yaitu nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yakni Cost-Insurance-Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan kepabeanan.
Misalnya dalam suatu kegiatan impor diketahui harga jual (cost) barang impor tersebut dari produsen di luar negeri Rp 10.000.000,- sedangkan insurance dan freight (ongkos angkut yang diminta produsen) masing-masing Rp 5.000.000,- dan Rp 7.000.000,-. Bea Masuk yang dikenakan terhadap barang yang diimpor tersebut 25% dan pungutan lainnya sebesar Rp 1.000.000,-. Dari keterangan ini, maka dapat dihitung DPP PPh Pasal 22 sebagai berikut:
 
PPh Pasal 22 Impor yang harus dilunasi atau dibayar oleh importir adalah sebesar tarif PPh Pasal 22 impor dikalikan dengan DPP PPh Pasal 22 Impor tersebut.  Dari gambar di atas, berarti besarnya PPh Pasal 22 Impor (asumsi impor menggunakan API) adalah = 2,5% x Rp 28.500.000,- = Rp 712.500,-.
Jika ada kegiatan impor yang dilakukan secara illegal dan kemudian tertangkap oleh pihak berwajib, maka barang impor tersebut akan disita oleh negara.  Selanjutnya barang sitaan impor tersebut akan dilelang dan akan dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif 7,5% dari harga jual lelang.  Dalam hal ini, barang sitaan impor itu disebut dengan “impor yang tidak dikuasai”.  Pihak yang dikenakan PPh Pasal 22 adalah pemenang lelang sehingga pemenang lelang harus membayar sebesar harga jual lelang ditambah PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari harga jual lelang tersebut.

Tata Cara Pelunasan
PPh Pasal 22 impor harus dilunasi bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk.  Apabila importir mendapat pembebasan pembayaran Bea Masuk, maka PPh Pasal 22 impor dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
Dalam pelaksanaannya, PPh Pasal 22 impor wajib disetor sendiri oleh importir melalui bank persepsi maupun Kantor Pos dan Giro yang dapat menerima penyetoran PPh Pasal 22 impor. Penyetoran menggunakan Surat Setoran Pabean-Cukai Dan Pajak Dalam Rangka Impor (SSPCP).
Bagi importir atau pihak yang dikenakan, PPh Pasal 22 impor yang sudah dibayar tersebut pada dasarnya merupakan uang muka (kredit PPh) dan dapat dikreditkan di SPT Tahunan PPh.  Namun jika barang yang diimpor tersebut terkait dengan penghasilan yang dikenakan PPh Final, maka PPh Pasal 22 Impor tadi tidak dapat dikreditkan di SPT Tahunan PPh.

Pengecualian PPh Pasal 22 Impor
Tidak semua impor dikenakan PPh Pasal 22 sebab seperti ditegaskan dalam Pasal 3 PMK Nomor 154/PMK.03/2010 ada beberapa jenis barang yang atas impornya dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 22 Impor (tidak dikenakan PPh Pasal 22 impor).
Dalam artikel ini, saya tidak akan menyebutkan satu per satu jenis barang tersebut karena terlalu banyak rinciannya.  Namun yang perlu saya sampaikan adalah bahwa untuk tidak dikenakan PPh Pasal 22 impor, ada yang memerlukan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari Kepala KPP tempat importir atau pihak yang akan melakukan impor terdaftar NPWP, atau dari kantor DJBC setempat. Tanpa ada SKB sebagai syarat pembebasan, PPh Pasal 22 Impor tetap dapat dikenakan.
Satu-satunya impor yang dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 22 dan tidak memerlukan SKB adalah impor kembali (re-impor), yaitu barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh DJBC.