Cari Blog Ini

Rabu, 25 Juli 2012

NATURA ATAU TUNJANGAN


NATURA ATAU TUNJANGAN, SEBUAH NAMA SEBUAH CERITA

Oleh : Moch. Arief Risman

A. Pendahuluan
Di malam pertama seorang pengantin berdebar-debar saat membuka amplop yang dihadiahkan perusahaan tempat dimana dia bekerja. Dari tebalnya amplop, sang pengantin merasa yakin bahwa jumlahnya akan lebih besar dari yang dia perkirakan. Namun kenyataan berbicara lain karena ternyata jumlahnya tidak seperti yang dia harapkan. Rupanya amplop menjadi lebih tebal adalah karena adanya bukti potong pph pasal 21 yang dilampirkan di dalam amplop tersebut.  Sang pengantin pun menjadi lemas karenanya di malam pertama itu.


Cerita di atas hanya sebuah kisah fiktif yang menggambarkan keinginan perusahaan untuk memberikan perhatian kepada pegawainya dalam bentuk nominal uang tetapi secara aturan pajak dapat diakui sebagai biaya atau yang dikenal dengan istilah deductible expense maka disesuaikanlah namanya menjadi tunjangan.  Hadiah dalam bentuk tunjangan yang diberikan kepada pegawai yang menikah tersebut terutang Pajak Penghasilan pasal 21 sehingga dipotong PPh sebesar tarif pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan. Dengan adanya pemotongan PPh tersebut maka bagi perusahaan biaya yang dikeluarkan untuk hadiah bagi pegawai yang menikah tersebut secara fiskal diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto.  Tindakan ini merupakan cerminan dari prinsip taxable bagi penerima penghasilan maka deductible bagi yang memberikan penghasilan atau bagi pihak pemberi penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya dan di pihak penerima penghasilan tersebut terutang dan dipotong PPh pasal 21.  Perusahaan akan cenderung memilih pemberian hadiah dalam bentuk uang daripada dalam bentuk barang karena pemberian dalam bentuk barang merupakan pemberian dalam bentuk natura yang sifatnya tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto atau non deductible expense.
B. Pembahasan
Natura
Definisi natura menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.23/1984 tentang pengertian kenikmatan dalam bantuk natura (seri PPh pasal 21-02), kenikmatan dalam bentuk natura adalah setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau karyawati dan atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Di dalam Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 36 tahun 2008 istilah natura dapat dilihat di pasal – pasal berikut ini :
a. Pasal 4 (3) huruf d
Yang dikecualikan dari objek pajak diantaranya adalah penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
b. Pasal 9 ayat 1
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
Huruf e
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang imbalan natura diantaranya adalah sebagai berikut :
A.  Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-83/PMK.03/2009 tentang. Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja;
Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat di dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-83/PMK.03/2009 dapat diambil beberapa intisarinya sebagai berikut :
Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah :
a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Khusus untuk pegawai yang tidak dapat menikmati makanan dan atau minuman tersebut di tempat kerja maka dapat diberikan dalam bentuk kupon, meliputi pegawai bagian pemasaran, transportasi, serta pegawai dinas luar lainnya.
b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.  Natura tersebut adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk :
  1. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
  2. pelayanan kesehatan;
  3. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
  4. peribadatan;
  5. pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;
  6. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri.
Daerah tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya. Natura tersebut meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.
B.  Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 252/PMK.03/2008
Pasal 5 (2) : Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
  1. Bukan Wajib pajak;
  2. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
iii.  Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).
Dari peraturan – peraturan tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut
Natura dan kenikmatan dari sisi biaya dapat dikelompokan menjadi dua yaitu natura yang sifatnya deductible expense (diperbolehkan untuk dibiayakan) serta natura yang sifatnya non deductible expense (tidak diperbolehkan menjadi biaya).  Natura yang sifatnya deductible expense adalah pemberian makanan dan atau minuman untuk seluruh pegawai , natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut, dan natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.  Pemberian natura dan kenikmatan di luar tiga hal tadi merupakan non deductible expense.
Natura dari sisi penghasilan dapat dikelompokan menjadi natura yang taxable (terutang pajak penghasilan) dan natura yang non taxable (tidak terutang pajak penghasilan). Natura sebagai penghasilan yang sifatnya taxable (terutang pajak penghasilan) adalah penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh bukan Wajib pajak,  Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Kelompok Natura
bagi pemberi kerja
bagi pegawai
Keterangan
Natura (secara umum)
Non Deductible expense
Non Taxable
Misalnya beras, sembako dll.
Natura yg dikecualikan
Deductible expense
Non Taxable
Makan/minum seluruh pegawai, natura di daerah tertentu, natura wajib dalam pelaksanaan kerja
Natura (khusus)
Non Deductible expense
Taxable
(PPh pasal 21)
Natura yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, WP Final, WP norma khusus/deemed profit
Tunjangan
Di dalam Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 36 tahun 2008 istilah tunjangan dapat kita temui di pasal 4 ayat 1 a, yang menyatakan bahwa  yang menjadi objek pajak adalah penghasilan termasuk diantaranya penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk diantaranya gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang PPh.  Tunjangan merupakan salah satu bentuk penghasilan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada para pegawai tetap yang bersifat teratur dan tidak teratur, hal ini dapat dilihat di pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, dinyatakan di nomor 15 bahwa Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.   Selain itu dinyatakan pula di di pasal 1 nomor 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 bahwa penghasilan pegawai tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis        lainnya dengan nama apapun.  Dengan demikian daat ditarik kesimpulan bahwa penghasilan dalam bentuk tunjangan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tunjangan yang sifatnya teratur dan tunjangan yang sifatnya tidak teratur.  Beberapa contoh pemberian tunjangan oleh pemberi kerja dapat dilihat dalam tabel berikut
Kelompok Tunjangan
Nama Tunjangan
Bersifat Teratur
Tunjangan Kesehatan

Tunjangan PPh 21

Tunjangan Beras
Bersifat Tidak Teratur
Tunjangan Hari Raya (THR)

Pada sisi yang lain pemberian tunjangan oleh pemberi kerja merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, hal ini dapat kita lihat di pasal 6 ayat 1 Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 36 tahun 2008, dinyatakan bahwa biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha diantaranya adalah biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
Dari peraturan-peraturan pajak tersebut di atas kita dapat menyimpulkan bahwa segala macam tunjangan merupakan penghasilan bagi pegawai tetap dan sifatnya taxable atau terutang serta wajib dipotong Pajak Penghasilan.  Tunjangan yang diberikan oleh pemberi kerja adalah biaya yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto karena merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Jenis Tunjangan
bagi pemberi kerja
bagi pegawai
keterangan
Tunjangan Kesehatan
Deductible Expense
Taxable
Dipotong pph pasal 21
Tunjangan Transport
Deductible Expense
Taxable
Dipotong pph pasal 21
Tunjangan Jabatan
Deductible Expense
Taxable
Dipotong pph pasal 21
Natura Yang Diberikan Dalam Bentuk Tunjangan
Dengan pertimbangan dan dalam kondisi tertentu, pihak pemberi kerja lebih cenderung memilih pemberian penghasilan kepada pegawainya dalam bentuk tunjangan dibanding diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan.  Pertimbangan utamanya adalah berkaitan dengan pengakuan biaya secara aturan pajak.  Pemberian dalam bentuk tunjangan kepada para pegawai dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto untuk menghitung pajak penghasilan, sedangkan jika diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan (yang bersifat umum) maka pengeluaran tersebut tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto.  Beberapa contoh pemberian penghasilan kepada para pegawai dalam bentuk tunjangan atau natura berikut sifatnya dari sisi biaya dan penghasilan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Jenis Penghasilan
bagi pemberi kerja
bagi pegawai
keterangan
Beras
Non Deductible Expense
Non Taxable
Tidak Dipotong pph pasal 21
Tunjangan Beras
Deductible Expense
Taxable
Dipotong pph pasal 21
PPh 21 ditanggung perusahaan
Non Deductible Expense
Non Taxable
Tidak Dipotong pph pasal 21
Tunjangan PPh 21
Deductible Expense
Taxable
Dipotong pph pasal 21
Pengobatan Cuma-cuma
Non Deductible Expense
Non Taxable
Tidak Dipotong pph pasal 21
Tunjangan Kesehatan
Deductible Expense
Taxable
Dipotong pph pasal 21

Natura yang diberikan dalam bentuk tunjangan jika berpatokan pada pasal 1 nomor 15 dan 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi adalah bahwa segala macam tunjangan merupakan penghasilan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pegawai tetap yang bersifat teratur maupun tidak teratur. Jika pemberi kerja memberikan penghasilan berupa tunjangan kepada penerima penghasilan yang merupakan bukan pegawai maka itu tidak dapat dibenarkan.
Jika kita kembali pada cerita fiktif di atas, pemberian hadiah berupa uang kepada pegawai tetap yang menikah dapat diberi nama tunjangan misalnya tunjangan kesejahteraan maka sifatnya deductible expense. Jika pemberi kerja memberikan hadiah perkawinan kepada selain pegawai tetap kemudian diberi nama tunjangan maka pemberian tunjangan tersebut merupakan biaya yang tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto atau biaya yang non deductible expense karena sifatnya merupakan sumbangan.

C. Penutup
Hak Wajib Pajak/pemberi kerja untuk memberikan penghasilan dalam bentuk tunjangan atau dalam bentuk natura kepada para pegawai tetapnya.  Adapun yang perlu diingat adalah :
  1. Pemberian penghasilan dalam bentuk tunjangan hanya berlaku untuk pegawai tetap
  2. Setiap tunjangan yang diberikan oleh pemberi kerja wajib dimasukan ke dalam unsur penghasilan bruto sehingga terutang PPh dan wajib dipotong Pajak Penghasilan pasal 21.
  3. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit) jika memberikan penghasilan dalam bentuk natura kepada para pegawainya maka wajib memotong pajak penghasilan pasal 21.

D. Daftar Pustaka
  1. Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008
  2. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-83/PMK.03/2009 tentang. Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi
  4. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.23/1984 tentang pengertian kenikmatan dalam bantuk natura (seri PPh pasal 21-02)
Sumber : http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/wawasan-ilmiah/artikel/opini-kita-pph/1100-natura-atau-tunjangan-sebuah-nama-sebuah-cerita 

PPN ATAS PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR BEKAS


MEMAHAMI PPN ATAS PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR BEKAS

Ditulis oleh        : Hari Sugiharto

PENDAHULUAN

Mulai 1 April 2010 pembeli kendaraan bermotor bekas dari dealer kendaraan bermotor bekas akan mengeluarkan uang lebih besar dari sebelumnya. Bukan karena harga kendaraan bermotor bekas yang sedang melonjak karena permintaan tinggi seperti jika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Bukan juga karena pembatasan BBM bersubsidi bagi kendaraan yang relatif baru. Intinya bukan karena harga kendaraannya. Tetapi karena pajak yang dibayar lebih besar dari sebelumnya. Pajak yang dimaksud adalah PPN. Bukan karena tarif PPN berubah. Tarif PPN tetap 10%. Yang berubah adalah Dasar Pengenaan Pajaknya. Bagaimana implikasi perubahan inilah yang penulis coba paparkan dalam tulisan ini.

PENGERTIAN PAJAK
Secara resmi, dengan berlakunya UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan perubahan ketiga, pajak memilki definisi yuridis. Dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP, pajak diartikan sebagai “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” 
Hakikatnya, pajak diciptakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tentu ini terkait dengan penggunaan pajak. Dan ini merupakan implikasi dari sila ke lima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

PENGERTIAN PPN
PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa. Ini bukan definisi resmi tentang PPN. Kita tidak menemukan definsi PPN dalam Pasal-Pasal UU PPN 1984. Kalimat itu ada dalam penjelasan UU PPN 1984. Juga tidak ada definisi tentang apa yang dimaksud dengan konsumsi. Tetapi kita memulai pembahasan tentang PPN dari statement itu.
Yang menjadi objek pajak adalah konsumsi barang dan jasa sedangkan subjek pajak dalam arti pemikul beban pajak adalah konsumen. Dalam sudut pandang PPN, konsumenlah yang dianggap memiliki kemampuan untuk dibebani pajak atas konsumsi barang maupun jasa.
Secara yuridis tidak semua barang yang dikonsumsi merupakan objek PPN. Pajak Pertambahan Nilai “hanya” dikenakan terhadap barang kena pajak. Yang dimaksud barang kena pajak adalah semua barang kecuali yang termasuk golongan barang:
  • barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
  • barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
  • makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
  • uang, emas batangan, dan surat berharga.
Kendaraan bermotor bekas tidak termasuk dalam 4 kelompok barang dimaksud sehinga termasuk barang kena pajak yang atas konsumsinya terutang PPN.
Meskipun konsumen yang memikul beban pajak tetapi kewajiban pelunasannya ke Kas Negara diserahkan kepada penjual. Penjual memegang fungsi menetapkan pajak atas penyerahan barang dan jasa yang terutang PPN dengan menerbitkan Faktur Pajak. Faktur Pajak inilah yang merupakan bukti beban pajak bagi pembeli yang harus dibayar kepada penjual dan merupakan bukti pungutan pajak bagi penjual yang selanjutnya wajib disetor ke Kas Negara.

MEKANISME PELUNASAN PPN KE KAS NEGARA
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh penjual, dan dinamakan Pajak Keluaran, tidak seluruhnya disetor ke Kas Negara. Sebagian merupakan hak penjual. Yang merupakan hak penjual adalah PPN yang dibayar atas perolehan barang atau jasa yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dan dikenal dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Selisih lebih Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan inilah yang wajib disetor ke Kas Negara. Mekanisme seperti ini merupakan mekanisme umum  pengkreditan Pajak Masukan yang dilakukan pada setiap Masa Pajak. Ketentuan umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPN 1984 antara lain menyatakan:
  • Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.;
  • Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan;
  • Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak;
  • Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
MEKANISME PELUNASAN PPN UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR BEKAS OLEH DEALER BERDASARKAN KETENTUAN BARU
Mekanisme pelunasan PPN untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak mengikuti mekanisme umum di atas tetapi menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat 7a dan 7b UU PPN 1984 dan ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010. Dalam peraturan tersebut diatur bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran, besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, yaitu sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak Keluaran.
Konsekuensi dari penghitungan dengan cara demikian adalah bahwa berapapun PPN yang dibayar karena perolehan barang atau jasa terkait dengan kegiatan usaha tidak lagi diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak lagi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya melainkan dengan menggunakan taksiran yang ditentukan sebesar 90% dari Pajak Keluaran.

MEKANISME PELUNASAN PPN UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR BEKAS OLEH DEALER BERDASARKAN KETENTUAN LAMA
Sebelum 1 April 2010, atas penyerahan kendaraan bermotor bekas menggunakan Nilai Lain sebagaimana ditetukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/ 1994 jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03 /2002. Dalam Peraturan tersebut antara lain diatur:
-   Dasar Pengenaan Pajak untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas adalah berupa Nilai Lain yang ditetapkan sebesar 10% dari Harga Jual.
-   Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat dikreditkan.
Ketentuan ini mengandung konsekuensi bahwa:
-   PPN yang dibayar adalah sebesar 1% dari harga Jual yang berasal dari 10% dikalikan 10% dari Harga Jual;
-   Pajak yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

PENGERTIAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK
Yang dituju sebagai pemikul beban pajak sesungguhnya untuk PPN adalah konsumen akhir dari suatu barang atau jasa. Karena pengenaannya bertingkat pada setiap jalur yang dilalui suatu barang sejak diproduksi sampai didistribusikan ke konsumen akhir, untuk menghindari pengenaan pajak berganda maka dasar pengenaannya hanya atas nilai tambahnya saja. Pengenaan atas nilai tambahnya saja dilakukan dengan cara pengurangan tidak langsung dimana yang disetorkan ke Kas Negara adalah selisih antara pajak yang dipungut (Pajak Keluaran) dengan pajak yang dibayar (Pajak Masukan). Mekanisme pengurangan dilakukan dengan cara mengkreditkan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. Pada akhirnya konsumen akhirlah yang memikul beban kumulatif PPN atas konsumsi barang dan jasa.
Istilah pengkreditan Pajak Masukan berlaku bagi setiap Pengusaha Kena Pajak ketika membeli barang atau memanfaatkan jasa untuk kepentingan usaha. Karena barang yang dibeli atau jasa yang dimanfaatkan tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi sehingga pengusaha ybs bukan merupakan sasaran bagi pengenaan PPN. Pajak yang sudah “terlanjur” menjadi beban selanjutnya dapat dilimpahkan ke konsumen berikutnya yang menurut sudut pandang penjual merupakan sasaran pengenaan PPN. Secara yuridis pelimpahan pajak ke konsumen berikutnya dilakukan dengan mekanisme pengkreditan. Secara konseptual, apabila Pengusaha Kena Pajak dapat membuktikan bahwa dia bukan konsumen akhir dari barang yang dibeli atau jasa yang dimanfaatkan maka PPN yang dibayar dapat dikreditkan.
Pembuktian bahwa pengusaha bukan konsumen akhir dari barang yang dibeli dapat dilakukan secara formil dan materil. Bukti formil adalah bahwa PPN tercantum dalam Faktur Pajak yang diisi secara benar, lengkap dan jelas. Atau bukan merupakan Faktur Pajak yang cacat. Bukti materil antara lain barang yang dibeli dan jasa yang dimanfaatakan berhubungan langsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN. Sepanjang PKP tidak dapat membuktikannya maka PPN yang dibayar tidak dapat dikreditkan dengan kata lain dialah pemikul beban pajak yang sesungguhnya.
Karena PPN adalah pajak atas konsumsi pada wilayah konsumsen akhir maka yang merupakan penerimaan Negara sesungguhnya dari PPN adalah yang dibayar oleh konsumen akhir. Bukan yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak ketika membeli barang atau jasa.

KONSEKUENSI PENGHITUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN PEDOMAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
Yang menarik untuk disimak adalah ketentuan mengenai pedoman pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak sebagai dealer kendaraan bermotor bekas yang menggunakan perkiraan sebesar 90% dari Pajak Keluaran. Ketentuan ini mengandung konsekuensi:
  1. Pengusaha Kena Pajak tidak peru lagi membuktikan bahwa ybs bukan konsumen akhir atas barang yang dibeli atau jasa yang dimanfaatkan;
  2. Pajak yang dibayar oleh konsumen selaku pembeli kendaraan bermotor bekas belum tentu seluruhnya masuk ke Kas Negara;
  3. Pengusaha Kena Pajak dapat “diuntungkan” atau “dirugikan” karena ada selisih antara pajak yang seharusnya dibayar dengan pajak yang nyata-nyata dibayar berdasarkan taksiran dalam konteks PPN sebagai Pajak atas Konsumsi.
Dengan demikian atas pembelian barang ataupun jasa yang dilakukan oleh dealer kendaraan bermotor bekas menjadi tidak jelas siapa konsumen akhirnya, variabel penting dalam penerapan PPN sebagai pajak atas konsumsi. Pajak yang dipungut sejak proses produksi sampai distribusi apabila mengalur pada jalur kendaraan bermotor bekas akan menjadi tidak jelas siapa dan berapa pajak yang harus dipikul.
Contoh berikut dapat memperjelas konsekuensi dimaksud:
Dalam catatan dealer kendaraan bermotor bekas pada suatu Masa Pajak diperoleh data sbb:
  • Penyerahan dan PPN yang dipungut:

Harga Jual
Pajak Keluaran
Penjualan kendaraan bekas
500juta
50juta
  • Pembelian barang dan jasa serta Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan kena pajak:

Harga Jual/ Penggantian
Pajak Masukan
-  Pembelian mobil bekas dari PKP
-  Pembelian mobil bekas dari non PKP
-  Pemanfaatan JKP
180juta
300juta
50juta
18juta
--
5juta

Perbandingan PPN yang dibayar oleh konsumen dan PPN yang disetor oleh Dealer Kendaraan Bermotor Bekas dengan ketentuan baru dan lama:
Berdasarkan ketentuan lama :
Jumlah harga jual dalam Masa Pajak                                            Rp500juta
Dasar Pengenaan Pajak: 10% x 500juta                                      Rp50juta
PPN yang dipungut dari konsumen = 10% x Rp50juta                  Rp5juta
PPN yang disetor ke Kas Negara                                                   Rp5juta
Secara yuridis penerimaan Negara yang berasal dari PPN dalam suatu tahapan sampai penyerahan kendaraan bermotor bekas oleh Dealer adalah sbb:
-    Pembayaran PPN yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer
-    PPN yang dipungut oleh Dealer

Rp23juta
Rp5juta
Jumlah
Rp28juta
Tidak ada bias antara pajak yang dibayar oleh konsumen dengan yang disetorkan ke Kas Negara. Yang dimaksud konsumen di sini adalah dealer karena Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan (sebesar Rp23juta) dan konsumen yang membeli kendaraan bekas dari dealer (sebesar Rp5juta). Sebesar Rp23juta dibayar ke Kas Negara melalui pemungutan oleh penjual kendaraan, sedangkan Rp5juta dibayar ke Kas Negara oleh dealer.
Berdasarkan ketentuan baru :
Jumlah harga jual dalam Masa Pajak                                           Rp500juta
Dasar Pengenaan Pajak                                                              Rp500juta
PPN yang dipungut dari konsumen = 10% x Rp500juta              Rp50juta
PPN yang disetor ke Kas Negara dengan Pedoman Pengkreditan
-    Pajak Keluaran                                                                      Rp50juta
-    Pajak Masukan: 90% x Rp50juta                                           Rp45juta
Pajak kurang dibayar                                                                  Rp5juta
Dengan ketentuan ini, yang diterima oleh Negara adalah sbb:
-    Pembayaran PPN yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer
-    PPN yang disetor ke Kas Negara oleh Dealer

Rp23juta
Rp5juta
Jumlah
Rp28juta
Meskipun tidak terdapat perbedaan dari sisi penerimaan Negara antara ketentuan lama dan ketentuan baru namun dengan ketentuan baru terdapat bias antara yang sesungguhnya dibayar oleh konsumen dengan yang diterima Kas Negara.
Yang sesungguhnya dibayar oleh konsumen dan seharusnya disetor ke Kas Negara adalah sbb:
-    Pembayaran PPN yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer
-    Selisih lebih yang seharusnya disetor ke Kas Negara:
  • Pajak yang dipungut
Rp50juta
  • Hak penjual berupa pajak yang dapat dikreditkan
Rp23juta (-)


Rp23juta




Rp27juta
Jumlah
Rp50juta
Selisih pajak yang dibayar konsumen dengan yang diterima oleh Negara adalah sebesar Rp.22juta yaitu Rp.50juta - Rp28juta. Jumlah ini juga sama dengan jumlah pajak yang dipungut oleh dealer sebesar Rp.50juta dikurangi yang menjadi hak dealer berupa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp.23juta dan dikurangi yang nyata-nyata disetor ke Kas Negara sebesar Rp5juta. Kemana larinya uang sebesar Rp.22juta? Tentunya menjadi “milik” dealer.
Jika pajak yang dibayar konsumen ternyata tidak seluruhnya masuk ke Kas Negara atau sebagian masuk ke Kas dealer, bisakah kita menyebut bagian yang tidak disetorkan ini sebagai pajak. Dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP, salah satu kriteria pajak adalah digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian “pajak” yang dibayar konsumen dan tidak masuk ke Kas Negara, yang dalam kasus di atas adalah sebesar Rp22juta, tidak memenuhi kriteria ini.
Apabila konsumen kendaraan bermotor bekas menyadari hal ini tentu secara psikologis akan berdampak negatif dalam pembayarannya. Pajak mungkin saja tinggi tetapi jika subjek pajak yakin bahwa semuanya menjadi penerimaan Negara secara psikologis tidak menjadi masalah. Sebab memang demikian nature dari pajak.
Melihat angka-angka di atas, ketentuan baru pengkreditan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman, secara ekonomis memang bisa menguntungkan dealer dan bisa juga merugikan. Dalam kasus yang Pajak Masukan yang dapat dikreditkannya lebih besar dari 90% dikalikan Pajak Keluaran maka dealer secara ekonomis “dirugikan”. Tetapi dalam kasus dealer dirugikan, tidak ada bias antara pajak yang dibayar konsumen dengan yang disetor ke Kas Negara.

KESIMPULAN
Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku di Indonesia adalah pajak atas konsumsi barang kena pajak dan jasa kena pajak. Ini mengandung arti bahwa yang menjadi objek adalah konsumsi barang kena pajak dan jasa kena pajak. Sedangkan pemikul beban pajaknya adalah konsumen. Dalam karakter PPN sebagai pajak tidak langsung, maka pajak yang terutang atas konsumsi barang dan jasa menjadi tanggungjawab penjual untuk menyetornya ke Kas Negara melalui pemungutan. Sarana untuk melakukan pemungutan adalah Faktur Pajak.
Berbeda dengan ketentuan umum mekanisme pengkreditan Pajak Masukan, khusus untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas oleh dealer kendaraan bermotor bekas, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan wajib dihitung dengan menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010. Dalam peraturan itu ditetapkan bahwa besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah sebesar 90& dari Pajak Keluaran.
Secara ekonomis, ketentuan ini bisa menguntungkan atau bisa juga merugikan bagi dealer kendaraan bermoptor bekas. Keuntungan ekonomis dimaksud adalah berupa pajak yang dipungut tidak seluruhnya disetor ke Kas Negara yaitu apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkannya lebih kecil dari 90% dikalikan Pajak Masukan. Ini mengandung arti tidak semua “pajak” yang dibayar oleh konsumen atas pembelian kendaraan bermotor bekas disetor seluruhnya ke Kas Negara oleh dealer. Dengan ketentuan baru pajak yang dibayar konsumen menjadi lebih besar tetapi yang diterima oleh Negara tetap sama dengan ketentuan lama. Terdapat selisih antara “pajak” yang dibayar konsumen dengan pajak yang disetor ke Kas Negara.
Sesuai definisinya pajak yang dibayar oleh konsumen (dalam konteks PPN) seharusnya menjadi penerimaan Negara yang selanjutnya digunakan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan uraian di atas, kiranya perlu ditinjau ulang ketentuan mengenai pedoman pengkreditan pajak masukan bagi dealer kendaraan bermotor bekas karena pengenaannya tidak sesuai dengan Undang-undang, setidaknya dengan definisi pajak.